Kamis, 26 September 2013

Susuri Jakarta, Tak Sengaja Jumpa Abah...


Setelah beralih fungsi menjadi kawasan jajanan pinggir jalan pada setiap Minggu pagi (car-free day), pemandangan tak sedap kerap kali muncul di sepanjang jalan Bundaran Hotel Indonesia (HI). Sampah sisa makanan dan minuman berserakan mengotori beberapa sudut jalan.

Melihat hal tersebut, Abah Ilham-lah orang pertama yang tak bisa tinggal diam. Dengan sigap, lelaki 58 tahun itu pun langsung mengambil peralatan andalannya, sebuah sapu lidi dan pengki. Dengan sapu lidi dan pengkinya itu, setiap sudut jalan Bundaran HI disapunya. Satu per satu sampah dipungutnya hingga tak bersisa.

Begitulah pekerjaan Abah Ilham setiap hari. Yah, Abah Ilham adalah seorang penyapu jalan yang beroperasi di seputar kawasan Bundaran HI, Jakarta. Sudah 15 tahun lelaki paruh baya itu melakoni pekerjaan tersebut. "Abis, enggak ada kerjaan lagi, Abah cuma bisa kerjain ini," kata Abah dengan polos.

Dahulu Abah bekerja sebagai petugas cleaning service di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Namun, kata Abah, karena perusahaannya bangkrut, beberapa karyawannya, termasuk Abah, akhirnya dikenai PHK. Tak pasrah begitu saja dengan keadaan, Abah mencari kerja ke sana kemari hingga akhirnya mendapat pekerjaan sebagai penyapu jalan.

Ditanya mengenai profesinya itu, Abah mengaku tak punya pilihan lain. "Yah, capeklah Neng. Tapi, abis mau gimana lagi, Abah kan harus ngasih makan keluarga. Mau enggak mau, kuat enggak kuat, harus dikerjainlah biar dapet duit," ujarnya.

Dengan penghasilannya yang terbilang minim dari profesinya ini, Abah harus menghidupi istri dan keempat anaknya yang masih mengenyam pendidikan di bangku sekolah. "Anak Abah ada empat, yang paling gede udah STM, sebentar lagi selesai. Yang lain masih SMP, yang kecil SD kelas 6," kata Abah yang pemalu itu.

Abah mengaku, meskipun hidupnya susah, ia tetap bersyukur karena anak-anaknya masih dapat mengenyam pendidikan sekolah dengan hasil jerih payahnya sendiri sebagai seorang tukang sapu jalan. Ke depan, Abah berharap, dirinya terus diberi kesehatan dan kekuatan oleh Yang Kuasa agar bisa tetap menjalani pekerjaannya sebagai tukang sapu jalan. "Abah selalu berdoa supaya sehat dan kuat terus kerja begini. Abah kan udah makin tua. Enggak kebayang kalo Abah enggak kerja, kasihan nanti istri dan anak Abah mau makan apa dan sekolahnya gimana," ujar lelaki asli Sunda itu. 

Sebuah harapan yang tak muluk, namun berarti begitu besar bagi kehidupan Abah dan keluarganya. 

Pertemuan yang tak disengaja dengan Abah Ilham memberikan satu pelajaran penting bagi saya, bahwa nilai diri seseorang tak melulu ditentukan oleh kekayaan, kedudukan, kecerdasan, ataupun kesempurnaan fisik, namun bergantung pada seberapa bernilainya ia bagi orang lain. Abah Ilham telah membuktikannya kepada saya. Tak kaya, tak ada jabatan, tak cerdas, tak tampan... namun bisa jadi ia lebih bernilai dan bersahaja daripada saya atau Anda karena perjuangan dan pengorbanannya yang besar bagi keluarga. Mari buka mata & lebih peka!      



Minggu, 22 September 2013

Gorgeously Lombok...

Gambar ini diambil saat kami melalui sebuah terowongan air yang berlokasi di kawasan Tiu Kelep, kaki Gunung Rinjani, Pulau Lombok, NTB (Sabtu, 24 Agustus 2013). 
 
Unbelievable! Finally we were able to pass through this tunnel! It's very dark, narrow, potholed roads, overflowing streams of water which is heavy and cold from mountain springs. Look at our faces! Trying to keep a smile even though very scared. One of the most extreme we've ever tried!

This experience reminded me of a quote:
“Traveling is a brutality. It forces you to trust strangers and to lose sight of all that familiar comfort of home and friends. You are constantly off balance. Nothing is yours except the essential things – air, sleep, dreams, the sea, the sky – all things tending towards the eternal or what we imagine of it.” – Cesare Pavese  

I strongly agree with that quote. I have proved that traveling is indeed a brutality. A brutality that brought you to freedom, true courage, complete happiness, and a more vibrant life.