Setelah beralih fungsi menjadi kawasan jajanan pinggir jalan pada setiap Minggu pagi (car-free day), pemandangan tak sedap kerap kali muncul di sepanjang jalan Bundaran Hotel Indonesia (HI). Sampah sisa makanan dan minuman berserakan mengotori beberapa sudut jalan.
Melihat hal tersebut, Abah Ilham-lah orang pertama yang tak bisa tinggal
diam. Dengan sigap, lelaki 58 tahun itu pun langsung mengambil peralatan
andalannya, sebuah sapu lidi dan pengki. Dengan sapu lidi dan pengkinya itu,
setiap sudut jalan Bundaran HI disapunya. Satu per satu sampah dipungutnya
hingga tak bersisa.
Begitulah pekerjaan Abah Ilham setiap hari. Yah, Abah Ilham adalah seorang
penyapu jalan yang beroperasi di seputar kawasan Bundaran HI, Jakarta. Sudah 15
tahun lelaki paruh baya itu melakoni pekerjaan tersebut. "Abis, enggak
ada kerjaan lagi, Abah cuma bisa kerjain ini," kata Abah dengan
polos.
Dahulu Abah bekerja sebagai petugas cleaning service di sebuah
perusahaan swasta di Jakarta. Namun, kata Abah, karena perusahaannya bangkrut,
beberapa karyawannya, termasuk Abah, akhirnya dikenai PHK. Tak pasrah begitu
saja dengan keadaan, Abah mencari kerja ke sana kemari hingga akhirnya mendapat
pekerjaan sebagai penyapu jalan.
Ditanya mengenai profesinya itu, Abah mengaku tak punya pilihan lain.
"Yah, capeklah Neng. Tapi, abis mau gimana lagi, Abah
kan harus ngasih makan keluarga. Mau enggak mau, kuat enggak kuat,
harus dikerjainlah biar dapet duit," ujarnya.
Dengan penghasilannya yang terbilang minim dari profesinya ini, Abah harus
menghidupi istri dan keempat anaknya yang masih mengenyam pendidikan di bangku
sekolah. "Anak Abah ada empat, yang paling gede udah STM,
sebentar lagi selesai. Yang lain masih SMP, yang kecil SD kelas 6," kata
Abah yang pemalu itu.
Abah mengaku, meskipun hidupnya susah, ia tetap bersyukur karena
anak-anaknya masih dapat mengenyam pendidikan sekolah dengan hasil jerih
payahnya sendiri sebagai seorang tukang sapu jalan. Ke depan, Abah berharap, dirinya terus diberi kesehatan dan kekuatan oleh Yang
Kuasa agar bisa tetap menjalani pekerjaannya sebagai tukang sapu jalan.
"Abah selalu berdoa supaya sehat dan kuat terus kerja begini. Abah kan udah
makin tua. Enggak kebayang kalo Abah enggak kerja, kasihan nanti istri
dan anak Abah mau makan apa dan sekolahnya gimana," ujar lelaki
asli Sunda itu.
Sebuah harapan yang tak muluk, namun berarti begitu besar bagi kehidupan
Abah dan keluarganya.
Pertemuan yang tak disengaja dengan Abah Ilham memberikan satu pelajaran penting bagi saya, bahwa nilai diri seseorang tak melulu ditentukan oleh kekayaan, kedudukan, kecerdasan, ataupun kesempurnaan fisik, namun bergantung pada seberapa bernilainya ia bagi orang lain. Abah Ilham telah membuktikannya kepada saya. Tak kaya, tak ada jabatan, tak cerdas, tak tampan... namun bisa jadi ia lebih bernilai dan bersahaja daripada saya atau Anda karena perjuangan dan pengorbanannya yang besar bagi keluarga. Mari buka mata & lebih peka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar